INTERNET VS PERPUSTAKAAN
DI DALAM ERA KETERBUKAAN
INFORMASI
GLOBALISASI
informasi memaksa kita turut
mengambil peran dalam setiap aspeknya. Hingga tanpa terasa, kita disuguhi ragam
jenis informasi dengan berbagai bentuk dan fungsinya masing-masing.
Lalu di manakah
peran kita? Sebagai subjek atau hanya objek semata? Era keterbukaan informasi
yang ditandai dengan kemunculan internet pada awal abad 21 membuka begitu
banyak keran informasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Bermula dari
Arpanet, sebuah jaringan eksperimen milik pemerintah Amerika Serikat berbasis
komunikasi data paket yang didirikan di tahun 1969. Tujuannya untuk
menghubungkan para periset ke pusat-pusat komputer, sehingga mereka bisa
bersama-sama memanfaatkan sarana komputer seperti disk space, database, dan
lain-lain.
Kegiatan ini
disponsori Departemen Pertahanan Amerika Serikat bersama lembaga yang dinamakan
Advanced Research Projects Agency (ARPA). Di awal 1980-an, Arpanet terpecah
menjadi dua jaringan, yaitu Arpanet dan Milnet (sebuah jaringan militer), akan
tetapi keduanya mempunyai hubungan sehingga komunikasi antarjaringan tetap
dapat dilakukan. Pada mulanya jaringan interkoneksi ini disebut DARPA Internet,
tapi lama-kelamaan disebut internet saja. Pemakaiannya sudah bukan murni untuk
riset saja, tetapi mencakup kegiatan sosial, komersial (melalui jaringan
antarkomersial), budaya, dan lain-lain.
Ledakan sumber
informasi ini mengakibatkan banyak orang sangsi dengan keberadaan perpustakaan,
yang sejak awal merupakan tempat rujukan informasi terpercaya yang tidak ada
tandingannya. Keberadaan internet mampu menggeser paradigma masyarakat mengenai
informasi. Keberadaan internet jugalah yang akhirnya membuat tempat seperti
perpustakaan kehilangan ruhnya karena pemikiran masyarakat untuk menggunakan
sarana paling mudah, murah, cepat, dan tanpa batas dalam mengakses informasi.
Nasib perpustakaan
Kemudian timbul pertanyaan, apakah
keberadaan internet dapat menjadi pintu kehancuran dunia perpustakaan?
Pertanyaan lama yang kini dijawab dengan semakin jarangnya orang yang
berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan umum dibandingkan dengan warung
internet (warnet) yang semakin menjamur.
Perpustakaan sebagai sarana
pencarian, penyimpanan, dan sarana temu balik informasi pada hakikatnya tidak
akan mati selama ia dikelola dengan profesional. Tidak berbeda jauh dengan
internet, bahkan menyerupai, perpustakaan dan internet mempunyai fungsi yang
sama berkenaan dengan informasi. Internet adalah perpustakaan maya. Internet
dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar alternatif bagi kalangan
akademisi setelah perpustakaan konvensional di lembaga pendidikan tinggi.
Timbul pertanyaan berikutnya, lalu
bagaimanakah pengelolaan perpustakaan yang benar agar eksistensinya tetap
terjaga, ketika teknologi bermunculan dan seperti saling melindas satu dan
lainnya? Pustakawan dan pengelola perpustakaan sebaiknya menyadari betul fungsi
perpustakaan.
Berawal dari kegiatan pengadaan,
pengolahan, penyebaran informasi dan preservasi. Proses pengadaan berkaitan
dengan visi dan misi serta kebijakan yang diambil oleh institusi penaungnya.
Misalnya bagi perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, pengadaan buku atau
jurnal tentunya terkait dengan fakultas atau program studi yang diselenggarakan
di tempat tersebut.
Kegiatan pengadaan yang baik harus
terkoordinasi secara baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena terkait
dengan anggaran dana. Pustakawan harus memiliki kemampuan untuk memilah dan
memilih mana koleksi yang nanti akan dibutuhkan kelompok penggunanya. Selain itu
harus pandai melakukan lobi agar anggaran dana tersebut memadai. Di bagian
inilah pustakawan hendaknya mengerahkan tenaga dan pikirannya agar koleksi
perpustakaan berkembang, kepuasan pengguna tercapai, dan tujuan institusi
teraih.
Penyebaran informasi identik dengan
pelayanan. Pelayanan perpustakaan merupakan ujung tombak sebuah perpustakaan.
Pelayanan yang ramah dan menyenangkan merupakan salah satu kunci terpenting di
samping kelengkapan koleksi yang dapat menjadi daya tarik kunjungan ke
perpustakaan. Di bagian pelayanan inilah sebuah sistem yang dijalankan di
perpustakaan dapat dinilai baik atau tidaknya. Sistem perpustakaan yang baik
haruslah memenuhi persyaratan: mudah melakukan temu balik informasi, yang
ditandai dengan ada-tidaknya alat penelusuran seperti katalog.
Selain itu, adanya rambu-rambu
perpustakaan yang dapat memudahkan pengguna dan petugas, serta petugas yang
komunikatif dan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap ilmu dan
pengetahuan. Yang terakhir, preservasi (pelestarian bahan pustaka) harus
dilakukan dengan berkesinambungan. Pengguna tentu merasa tidak nyaman pada
bahan bacaan yang tidak layak dibaca karena banyak halaman hilang karena sobek
ataupun karena dimakan usia.
Sumber :
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100217121122&idkolom=opinipendidikan