Senin, 08 Juli 2013

INTERNET VS PERPUSTAKAAN
DI DALAM ERA KETERBUKAAN INFORMASI
GLOBALISASI
             informasi memaksa kita turut mengambil peran dalam setiap aspeknya. Hingga tanpa terasa, kita disuguhi ragam jenis informasi dengan berbagai bentuk dan fungsinya masing-masing.
            Lalu di manakah peran kita? Sebagai subjek atau hanya objek semata? Era keterbukaan informasi yang ditandai dengan kemunculan internet pada awal abad 21 membuka begitu banyak keran informasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Bermula dari Arpanet, sebuah jaringan eksperimen milik pemerintah Amerika Serikat berbasis komunikasi data paket yang didirikan di tahun 1969. Tujuannya untuk menghubungkan para periset ke pusat-pusat komputer, sehingga mereka bisa bersama-sama memanfaatkan sarana komputer seperti disk space, database, dan lain-lain.
            Kegiatan ini disponsori Departemen Pertahanan Amerika Serikat bersama lembaga yang dinamakan Advanced Research Projects Agency (ARPA). Di awal 1980-an, Arpanet terpecah menjadi dua jaringan, yaitu Arpanet dan Milnet (sebuah jaringan militer), akan tetapi keduanya mempunyai hubungan sehingga komunikasi antarjaringan tetap dapat dilakukan. Pada mulanya jaringan interkoneksi ini disebut DARPA Internet, tapi lama-kelamaan disebut internet saja. Pemakaiannya sudah bukan murni untuk riset saja, tetapi mencakup kegiatan sosial, komersial (melalui jaringan antarkomersial), budaya, dan lain-lain.
            Ledakan sumber informasi ini mengakibatkan banyak orang sangsi dengan keberadaan perpustakaan, yang sejak awal merupakan tempat rujukan informasi terpercaya yang tidak ada tandingannya. Keberadaan internet mampu menggeser paradigma masyarakat mengenai informasi. Keberadaan internet jugalah yang akhirnya membuat tempat seperti perpustakaan kehilangan ruhnya karena pemikiran masyarakat untuk menggunakan sarana paling mudah, murah, cepat, dan tanpa batas dalam mengakses informasi.

Nasib perpustakaan
            Kemudian timbul pertanyaan, apakah keberadaan internet dapat menjadi pintu kehancuran dunia perpustakaan? Pertanyaan lama yang kini dijawab dengan semakin jarangnya orang yang berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan umum dibandingkan dengan warung internet (warnet) yang semakin menjamur.
            Perpustakaan sebagai sarana pencarian, penyimpanan, dan sarana temu balik informasi pada hakikatnya tidak akan mati selama ia dikelola dengan profesional. Tidak berbeda jauh dengan internet, bahkan menyerupai, perpustakaan dan internet mempunyai fungsi yang sama berkenaan dengan informasi. Internet adalah perpustakaan maya. Internet dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar alternatif bagi kalangan akademisi setelah perpustakaan konvensional di lembaga pendidikan tinggi.
            Timbul pertanyaan berikutnya, lalu bagaimanakah pengelolaan perpustakaan yang benar agar eksistensinya tetap terjaga, ketika teknologi bermunculan dan seperti saling melindas satu dan lainnya? Pustakawan dan pengelola perpustakaan sebaiknya menyadari betul fungsi perpustakaan.
            Berawal dari kegiatan pengadaan, pengolahan, penyebaran informasi dan preservasi. Proses pengadaan berkaitan dengan visi dan misi serta kebijakan yang diambil oleh institusi penaungnya. Misalnya bagi perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, pengadaan buku atau jurnal tentunya terkait dengan fakultas atau program studi yang diselenggarakan di tempat tersebut.
            Kegiatan pengadaan yang baik harus terkoordinasi secara baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena terkait dengan anggaran dana. Pustakawan harus memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih mana koleksi yang nanti akan dibutuhkan kelompok penggunanya. Selain itu harus pandai melakukan lobi agar anggaran dana tersebut memadai. Di bagian inilah pustakawan hendaknya mengerahkan tenaga dan pikirannya agar koleksi perpustakaan berkembang, kepuasan pengguna tercapai, dan tujuan institusi teraih.
            Penyebaran informasi identik dengan pelayanan. Pelayanan perpustakaan merupakan ujung tombak sebuah perpustakaan. Pelayanan yang ramah dan menyenangkan merupakan salah satu kunci terpenting di samping kelengkapan koleksi yang dapat menjadi daya tarik kunjungan ke perpustakaan. Di bagian pelayanan inilah sebuah sistem yang dijalankan di perpustakaan dapat dinilai baik atau tidaknya. Sistem perpustakaan yang baik haruslah memenuhi persyaratan: mudah melakukan temu balik informasi, yang ditandai dengan ada-tidaknya alat penelusuran seperti katalog.
            Selain itu, adanya rambu-rambu perpustakaan yang dapat memudahkan pengguna dan petugas, serta petugas yang komunikatif dan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap ilmu dan pengetahuan. Yang terakhir, preservasi (pelestarian bahan pustaka) harus dilakukan dengan berkesinambungan. Pengguna tentu merasa tidak nyaman pada bahan bacaan yang tidak layak dibaca karena banyak halaman hilang karena sobek ataupun karena dimakan usia.
Sumber :

http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100217121122&idkolom=opinipendidikan